Sunan Muria

Raden Umar Said sedang asyik berceramah di padepokannya di Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kudus, ketika seorang pemuda datang berkunjung. Tanpa tedeng aling-aling, pemuda itu, Raden Bambang Kebo Anabrang, mengaku sebagai putra Raden Umar. Raden Umar terkejut mendengarnya. Ia segera membantah dan mengusir Kebo Anabrang.

Tetapi, Kebo Anabrang tetap bersikeras, tak mau meninggalkan padepokan sebelum Raden Umar mengaku sebagai ayahnya. Karena terus didesak, Raden Umar akhirnya mengalah. Tapi dengan satu syarat: Kebo Anabrang harus memindahkan salah satu pintu gerbang Kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto, ke padepokannya dalam semalam. Padahal, jaraknya mencapai sekitar 350 kilometer.

Berkat kesaktian Kebo Anabrang, pintu gerbang itu enteng saja dipikulnya. Tetapi, dalam perjalanan, Kebo Anabrang dihadang Raden Ronggo dari Kadipaten Pasatenan Pati. Raden Ronggo juga memerlukan gerbang itu untuk mempersunting Roro Pujiwati, putri Kiai Ageng Ngerang. Siapa saja yang sanggup membawa gerbang Majapahit itu ke Juana berhak melamar Roro Pujiwati. Continue reading

Sunan Gunung Jati

Di Kompleks pemakaman Gunung Sembung, sering terlihat penziarah –perorangan atau rombongan– dari kalangan etnis Cina. Sama dengan para saudaranya dari kalangan Islam, umat Buddha dan Konghucu itu bertujuan menyekar pemakaman yang terletak di Desa Astana, sekitar tiga kilometer di barat kota Cirebon, Jawa Barat, itu.

Untuk mereka disediakan ”kavling” khusus di sisi barat serambi depan kompleks pemakaman. Tentu bukan karena diskriminasi. ”Kami tak membeda-bedakan penziarah,” kata Yusuf Amir, salah seorang juru kunci kompleks pemakaman. ”Penziarah muslim ataupun nonmuslim semuanya bisa berdoa di sini,” Yusuf, 36 tahun, menambahkan.

Pemisahan tempat semata-mata karena ritual yang berbeda. Di sayap barat itu terdapat makam Ong Tien, salah seorang istri Syarif Hidayatullah, yang lebih dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Dia adalah putri Kaisar Hong Gie dari Dinasti Ming. Banyak versi tentang perjodohan mereka. Yang paling spekatakuler tentulah versi ”nujum bertuah” Sunan Gunun Jati.

Syahdan, dalam persinggahannya di Cina, Syarif Hidayatullah menyebarkan Islam sambil berpraktek sebagai tabib. Setiap yang datang berobat diajarinya berwudu dan diajak salat. Manjur, si sakit sembuh. Dalam waktu singkat, nama Syarif Hidayatullah semerbak di kota raja. Kaisar pun kemudian tertarik menjajal kesaktian ”sinse” dari Tanah Pasundan itu. Continue reading

Sunan Kalijaga

Hutan Jatiwangi, pada suatu masa. Di rindang lebat pepohonan jati di kawasan Lasem, Rembang, Jawa Tengah, itu dua lelaki berbeda umur tegak berhadapan. Yang satu pemuda berpakaian serba hitam. Di depannya seorang pria lebih tua, dibalut busana serba putih. Sebatang tongkat menyangga tubuhnya.

Pemuda berbaju hitam itu bernama Lokajaya, berandal yang gemar membegal pejalan yang melewati hutan Jatiwangi. Ia silau oleh kemilau kuning keemasan gagang tongkat yang dibawa pria berjubah putih. Siapa pun orang berjubah putih itu, layaklah ia menjadi mangsa Lokajaya. Dan ketika tongkat itu direbut, orang tua tadi sama sekali tak berlawan.

Ia tersungkur di tanah, kehilangan keseimbangan. Tongkat berkepala emas itu berpindah tangan. Bangkit dari jatuhnya, orang tua itu memberi nasihat, dengan tutur kata lembut. Nasihat inilah yang mengubah jalan hidup Lokajaya. Ia menjadi murid orang tua itu –yang tiada lain daripada Sunan Bonang. Lokajaya sendiri kemudian dikenal sebagai Sunan Kalijaga. Continue reading

Sunan Kudus

sunan-kudus1Meski namanya Sunan Kudus, ia bukanlah asli Kudus. Dia datang dari Jipang Panolan (ada yang mengatakan disebelah utara Blora), berjarak 25 kilometer ke arah barat kota Kudus, Jawa Tengah. Di sanalah ia dilahirkan, dan diberi nama Ja’far Shodiq. Ia adalah anak dari hasil perkawinan Sunan Undung atau Sunan Ngudung (Raden Usman Haji) dengan Syarifah, cucu Sunan Ampel. Semasa jayanya, Sultan Undung terkenal sebagai panglima perang yang tangguh.

Sampai suatu waktu, Sunan Undung tewas dalam peperangan antara Demak dan Majapahit. Setelah itu, Ja’far Shodiq menggantikan posisi ayahnya. Tugas utamanya ialah menaklukkan wilayah Kerajaan Majapahit untuk memperluas kekuasaan Demak. Kenyataannya, Ja’far Shodiq terbukti hebat di medan perang, tak kalah dengan kepiawaian ayahnya.

Ja’far Shodiq berhasil mengembangkan wilayah Kerajaan Demak, ke timur mencapai Madura, dan ke arah barat hingga Cirebon. Sukses ini kemudian memunculkan berbagai cerita kesaktian Ja’far Shodiq. Misalnya, sebelum perang, Ja’far Shodiq diberi badong –semacam rompi– oleh Sunan Gunung Jati. Badong itu dibawa berkeliling arena perang.

Dari badong sakti itu kemudian keluarlah jutaan tikus, yang juga ternyata sakti. Kalau dipukul, tikus itu bukannya mati, malah makin mengamuk sejadi-jadinya. Pasukan Majapahit ketakutan lari tunggang langgang. Dia juga punya sebuah peti, yang bisa mengeluarkan jutaan tawon. Banyak prajurit Majapahit yang tewas disengat tawon. Continue reading

Sunan Gresik

sunan-gresikMatahari baru saja tenggelam di Desa Tanggulangin, Gresik, Jawa Timur. Rembulan dan bintang giliran menyapa dengan sinarnya yang elok. Penduduk desa tampak ceria menyambut cuaca malam itu. Sebagian mereka berbincang santai di beranda, duduk lesehan di atas tikar. Mendadak terdengar suara gemuruh. Makin lama makin riuh.

Sejurus kemudian, dari balik pepohonan di perbatasan desa terlihat gerombolan pasukan berkuda –berjumlah sekitar 20 orang. Warga Tanggulangin berebut menyelamatkan diri –bergegas masuk ke rumahnya masing-masing. Kawanan tak diundang itu dipimpin oleh Tekuk Penjalin. Ia berperawakan tinggi, kekar, dengan wajah bercambang bauk.

”Serahkan harta kalian,” sergah Penjalin, jawara yang tak asing di kawasan itu. ”Kalau menolak, akan kubakar desa ini.” Tak satu pun penduduk yang sanggup menghadapi. Mereka memilih menyelamatkan diri, daripada ”ditekuk-tekuk” oleh Penjalin. Merasa tak digubris, kawanan itu siap menghanguskan Tanggulangin. Continue reading

Sunan Drajat

sunan-drajatDiantara para wali, mungkin Sunan Drajat yang punya nama paling banyak. Semasa muda ia dikenal sebagai Raden Qasim, Qosim, atawa Kasim. Masih banyak nama lain yang disandangnya di berbagai naskah kuno. Misalnya Sunan Mahmud, Sunan Mayang Madu, Sunan Muryapada, Raden Imam, Maulana Hasyim, Syekh Masakeh, Pangeran Syarifuddin, Pangeran Kadrajat, dan Masaikh Munat.

Dia adalah putra Sunan Ampel dari perkawinan dengan Nyi Ageng Manila, alias Dewi Condrowati. Empat putra Sunan Ampel lainnya adalah Sunan Bonang, Siti Muntosiyah, yang dinikahi Sunan Giri, Nyi Ageng Maloka, yang diperistri Raden Patah, dan seorang putri yang disunting Sunan Kalijaga. Akan halnya Sunan Drajat sendiri, tak banyak naskah yang mengungkapkan jejaknya.

Ada diceritakan, Raden Qasim menghabiskan masa kanak dan remajanya di kampung halamannya di Ampeldenta, Surabaya. Setelah dewasa, ia diperintahkan ayahnya, Sunan Ampel, untuk berdakwah di pesisir barat Gresik. Perjalanan ke Gresik ini merangkumkan sebuah cerita, yang kelak berkembang menjadi legenda.

Syahdan, berlayarlah Raden Qasim dari Surabaya, dengan menumpang biduk nelayan. Di tengah perjalanan, perahunya terseret badai, dan pecah dihantam ombak di daerah Lamongan, sebelah barat Gresik. Raden Qasim selamat dengan berpegangan pada dayung perahu. Kemudian, ia ditolong ikan cucut dan ikan talang –ada juga yang menyebut ikan cakalang. Continue reading

Sunan Bonang

sunan-bonangTamba ati iku lima sak warnane
Maca Qur’an angen-angen sak maknane
Kaping pindo, sholat wengi lakonana
Kaping telu, wong kang soleh kencanana
Kaping papat kudu wetheng ingkang luwe
Kaping lima dzikir wengi ingkang suwe

MENURUT tembang ini, ada lima macam ”penawar hati”, atau pengobat jiwa yang ”sakit”. Yakni membaca Al-Quran, mengerjakan salat tahajud, bersahabat dengan orang saleh, berzikir, dan hidup prihatin. Inilah pula yang sering dilantunkan Emha Ainun Nadjib bersama Kelompok Kyai Kanjeng, dalam sejumlah pergelarannya.

Di luar acara Emha, Tamba Ati hingga kini masih kerap dinyanyikan sejumlah santri di pesantren dan masjid di sejumlah desa. Tapi Cak Nun –demikian Emha biasa disapa– bukan pencipta ”lagu” itu. Tembang ini adalah peninggalan Raden Maulana Makdum Ibrahim, yang lebih dikenal sebagai Sunan Bonang.

Pada masa hidupnya, Sunan Bonang menyanyikan Tamba Ati untuk menarik warga masyarakat agar memeluk Islam. Pada saat berdendang, pria yang diduga berusia 60 tahun itu menabuh gamelan dari kuningan, yang dibuat oleh sejumlah warga Desa Bonang, Jawa Timur. Nama desa inilah yang kemudian melekat pada gelar sang Sunan. Continue reading

Sunan Ampel

sunan-ampelPrabu Sri Kertawijaya tak kuasa memendam gundah. Raja Majapahit itu risau memikirkan pekerti warganya yang bubrah tanpa arah. Sepeninggal Prabu Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada, kejayaan Majapahit tinggal cerita pahit. Perang saudara berkecamuk di mana-mana. Panggung judi, main perempuan, dan mabuk-mabukan menjadi ”kesibukan” harian kaum bangsawan –pun rakyat kebanyakan.

Melihat beban berat suaminya, Ratu Darawati merasa wajib urun rembuk. ”Saya punya keponakan yang ahli mendidik kemerosotan budi pekerti,” kata permaisuri yang juga putri Raja Campa itu. ”Namanya Sayyid Ali Rahmatullah, putra Kakanda Dewi Candrawulan,” Darawati menambahkan. Tanpa berpikir panjang, Kertawijaya mengirim utusan, menjemput Ali Rahmatullah ke Campa –kini wilayah Kamboja.

Ali Rahmatullah inilah yang kelak lebih dikenal sebagai Sunan Ampel. Cucu Raja Campa itu adalah putra kedua pasangan Syekh Ibrahim Asmarakandi dan Dewi Candrawulan. Ayahnya, Syekh Ibrahim, adalah seorang ulama asal Samarkand, Asia Tengah. Kawasan ini melahirkan beberapa ulama besar, antara lain perawi hadis Imam Bukhari. Continue reading